Karakter Pengelola Lembaga Filantropi

Bagikan :

 

Faezal Muhammar Nur
Mahasiswa Mazawa semester I (TA. 2022/2023)

 

Berawal dari Kasus. Salah satu lembaga filantropi yang terkenal di Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT) terkena kasus penyelewang dana. Kasus tersebut menurunkan  kepercayaan masyarakat terhadap  lembaga kemanusiaan yang digadang-gadang membantu mensejahterakan masyarakat.

Dilansir dari Majalah Tempo, penyelewangan dana dilakukan oleh mantan presiden tertinggi ACT. Dana yang dikeluarkan untuk menggaji presiden ACT mencapai 250 juta termasuk fasilitas mobil mewah. Penyelewengan dana diduga terjadi karena dana yang seharusnya diberikan untuk kegiatan kemanusiaan dialokasikan untuk menggaji petinggi ACT dengan dana yang sangat tinggi.

Menurut laporan dari Suara.com Ibnu (pengganti presiden ACT sebelumnya) memberi penjelasan, mengambil dana sebesar 13.5% untuk biaya operasional. Termasuk didalamnya gaji bagi petinggi ACT. Alasan kenapa ACT mengambil dana sebesar 13.5% unutk operasional karena ACT bukanlah lembaga zakat, namun lembaga filantropi umum dari masyarakat.Ibnu juga menjelaskan tingginya biaya operasional karena ACT harus mengelola bantuan kemanusiaan ke lebih dari 47 negara di seluruh dunia.

Dengan mencuatnya kasus tersebut di media sosial, penulis penasara. Apakah penyelewangan ini terjadi karena ketidak transparan ACT. Terlepas dari fakta yang ada, apakah gaji sebesar itu adalah wajar bagi lembaga filantropi? Bahkan didalamnya sudah termasuk fasilitas yang mewah. Apakah julukan lembaga kemanusiaan harus berorientasi kepada kegiatan sosial tanpa memperhatikan pengelola lembaga tersebut? Tentu suatu lembaga harus dikelola dengan baik agar dapat berjalan dengan baik. Tak hanya bermodal keinginan membantu tanpa ilmu untuk mengelola lembaga tersebut.

Kepercayaan Masyarakat terhadap Lembaga Kemanusiaan. Sedangkan Qohar Kholil, Wakil Ketua sekaligus Direktur Eksekutif Lazisnu PBNU menyatakan organisasi filantropi berbasis ormas berbeda dengan lembaga non ormas. Menurutnya, lembaga dibawah naungan ormas seperti Lazisnu dan Lazismu terdapat unsur pengabdian. Sehingga, ikhlas dalam mengelolanya. Qohar Kholil menjelaskan, kedua lembaga tersebut diawasi secara internal dan diawasi oleh organisasi masing-masing. Sehingga, organisasi LAZ-LAZ diawasi secara ganda.

Dengan adanya unsur pengabdian dan keikhlasan dalam mengelola lembaga LAZ, dapat mencegah lembaga tersebut untuk melakukan penyelewengan seperti yang terjadi pada lembaga ACT. Pengurus organisasi LAZ-LAZ mengurusi lembaga tidak semata-mata hanya menginginkan gaji besar, tapi pengabdian kepada masyarakatlah yang paling utama.

Dengan adanya kasus ACT. Ini membuat masyarakat khawatir jika ingin menyalurkan bantuan lewat lembaga filantropi. Masyarakat akan cenderung memberi bantuan secara langsung kepada penerima. Tentu jika pemberi bantuan dapat mengelolanya bukan sebuah masalah jika ingin memberikan bantuan secara langsung. Namun, untuk bantuan yang ingin diberikan dalam jumlah yang banyak tentu pengolaannya akan lebih sulit.

Diharap dengan pengawasan ganda dan unsur pengabdian yang dimiliki lembaga LAZ-LAZ dapat menjadi pertimbangan masyarakat yang ingin menyalurkan bantuan mealui lembaga  filantropi.

Kemensos berharap lembaga filantropi yang ada kembali ke niat awal, yaitu kemanusiaan. Dengan niat tersebut pastinya lembaga filantropi akan berusaha sebaik mungkin untuk mengelola dan jujur terhadap apa yang sedang mereka kerjakan.

Tentu agar lembaga filantropi dapat berjalan secara lurus dan dikelola dengan baik, dibutuhkan pengkaderan yang mumpuni juga.

Pengelola yang Kompeten dan Jujur. Kemenag telah membuka jurusan baru untuk Perguruan Tinggi berbasis Islam yaitu Manajemen Zakat dan Wakaf.

Direktur pemberdayaan zakat dan wakaf kemenag Tarmizi Tohor mendorong lebih banyak perguruan tinggi untuk membuka program studi (prodi) Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa). Tarmizi menambahkan, penerapan program studi manajemen zakat dan wakaf merupakan salah satu amanat undang-undang dasar dalam mewujudkan tata kelola zakat dan wakaf secara professional. Melalui UU tersebut negara berusaha  hadir dalam meningkatkan kompetensi amil dan nazir untuk melakukan pengelolaan zakat dan wakaf sesuai ketentuan syariah.

Tarmizi menjelaskan telah bekerja sama dengan beberapa lembaga amil zakat (LAZ) dan nazir kelembagaan untuk memberi ruang bagi mahasiswa program studi manajemen zakat dan wakaf dalam menerapkan ilmu yang dimiliki.

Diharap lulusan program studi manajemen zakat dan wakaf tak hanya berkompeten dalam mengelola zakt dan wakaf. Namun, juga memiliki karakter yang jujur sesuai yang diajarkan dalamn program studi tersebut.

Dengan munculnya kasus ACT, tentu ini dapat menjadi pertimbangan bagaimana cara agar lembaga filantropi khususnya di Indonesia dapat dikelola dengan baik tanpa meninggalkan niat awal lembaga tersebut didirikan. Program studi tersebut adalah salah satu pilihan agar tujuan tersebut tercapai.

Berita Terkait