Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen Bahasa Indonesia FEBI IAIN Ponorogo
Ada ungkapan bahwa buku merupakan jendela dunia. Dengan buku kita dapat mengetahui segala hal-ihwal mengenai dunia ini. Di beberapa tempat, buku bahkan menjadi alat pemicu revolusi dan pertempuran perebutan kekuasaan. Di Amerika Serikat pada abad 19 terbit buku berjudul Uncle Toms Cabin, yang menjadi salah satu pemicu perang saudara yang dahsyat. Buku tersebut bercerita tentang kehidupan menyedihkan orang kulit hitam dalam sistem perbudakan, yang akhirnya memantik rasa anti-perbudakan di kalangan masyarakat Amerika saat itu.
Telah terbukti bahwa buku memiliki kekuatan untuk mengubah dan mempengaruhi. Maka, tidak mengherankan jika buku sangat dicintai sekaligus dibenci. Buku dicintai dengan dikoleksi dan dirawat sebaik-baiknya. Napoleon Bonaparte, pahlawan besar Perancis, konon tidur dengan selalu membawa buku Il Principle karya Machiavelli yang berisi tips dan trik menjadi penguasa dengan menghalalkan segala cara. Sebaliknya, buku juga dibenci dengan dimusnahkan hingga ke abu terakhirnya.
Berbicara mengenai kebencian terhadap buku, banyak yang dapat kita ketengahkan sebagai contoh. Menengok ke belakang kita bisa melihat bagaimana karya sastrawan Lekra dibakar karena dianggap mengandung unsur komunisme. Beranjak ke depan di tahun 2001, kita melihat buku karya Franz Magnis-Suseno yang berisi kritiknya terhadap Marxisme dibakar beramai-ramai oleh sekelompok orang. Dan yang terakhir, beberapa tahun lalu, diskusi buku karya Tan Malaka ditolak dan dibubarkan oleh sekelompok orang.
Fernando Baez dalam bukunya Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa mengungkapkan bahwa buku telah dimusnahkan dan dihancurkan selama 55 abad. Meskipun demikian, kenyataannya tidak ada satu telaah ilmiah pun yang mengungkapkan mengapa hal itu terjadi, sedangkan puluhan telaah ilmiah tentang asal muasal buku telah dilakukan. Hal inilah yang memantik Baez untuk melakukan telaah ilmiah tentang penghancuran buku dari masa ke masa di berbagai peradaban.
Baez berpandangan bahwa penghancuran terhadap buku sejatinya serupa dengan praktik-praktik penghancuran terhadap segala sesuatu yang ada di dunia. Dalam konteks ini, Baez mencoba mengaitkan praktik penghancuran buku dengan teori Apokaliptis. Dalam teori Apokaliptis, mitos penghancuran dianggap sebagai pengimbang mitos penciptaan, sekaligus sebagai standar untuk menjelaskan akhir dari sejarah, dan awal dari kebakaan.
Dalam bukunya Baez menjelaskan lebih lanjut, ketika sebuah buku dihancurkan, bukan buku sebagai benda yang hancur, tapi keterkaitannya dengan sebuah memori tertentu yang dihancurkan. Dengan demikian, sebuah buku dihancurkan dengan maksud menghabisi memori penyimpannya, serta warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan. Penghancuran ini ditujukan pada segala sesuatu yang dipandang dapat mengancam sebuah nilai atau tatanan yang tengah unggul dan mapan. Maka dalam aras ini, dapat dikatakan bahwa buku tidak dihancurkan karena kebencian terhadapnya sebagai objek.
Pada bagian lain bukunya Baez menuturkan temuannya bahwa ternyata para biblioklas ( para penghancur buku) bukanlah orang atau sekelompok orang yang tidak berpengetahuan dan tidak dapat menahan amarah mereka. Setelah dua belas tahun meneliti Baez berkesimpulan, semakin terpelajar suatu bangsa, sekelompok orang, atau orang, semakin besar keinginannya untuk menyingkirkan buku-buku di bawah tekanan mitos-mitos apokaliptis. Secara umum biblioklas digambarkan Baez sebagai orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, mempunyai bakat intelektual yang tidak biasa, cenderung depresif, tidak mampu menerima kritik, egois, mitomania, cenderung berada pada lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa, karismatik, dan memiliki fanatisme berlebih pada agama atau paham tertentu. Faktanya, beberapa tokoh terpelajar disebut pernah menyarankan pembakaran buku. Salah satunya adalah Rene Descartes, filsuf yang terkenal dengan ungkapannya: “cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada)”. Untuk mengukuhkan metode pemikirannya, Descartes meminta pembacanya membakar buku-buku lama. Begitu juga David Hume, seorang pemikir Skotlandia yang toleran, meminta semua buku tentang metafisika untuk diberangus karena tidak sejalan dengan perspektif empirisme yang dianutnya. Selain itu, ada juga kisah tentang Kaisar Shih Huang Ti (213 SM) yang memerintahkan pembakaran pada buku-buku yang mengingatkan pada masa lalu. Dalam novelnya yang berjudul 1984, George Orwell menggambarkan suatu negara totaliter yang mempunyai sebuah departeman yang bertugas untuk menemukan dan menghapus masa lalu. Buku-buku ditulis ulang, dan versi aslinya dihancurkan dalam perapian rahasia.
Jika kita membaca buku Baez hingga tuntas, kita akan menemukan rentangan panjang peristiwa penghancuran buku. Pertama, peristiwa dan temuan arkeologi yang berkaitan dengan berbagai bentuk penghancuran buku atau memori kolektif dari sebuah peradaban di masa tahun 5000 SM hingga tahun 500 M, terentang dari Sumeria sampai Cina. Kedua, penghancuran buku dari awal era Byzantium sampai ke awal abad 19 di Konstantinopel, dunia Islam, Eropa, dan Amerika Latin. Dan Ketiga, cerita penghancuran buku di era abad 20 hingga saat ini. Bagian ini diawali oleh cerita penghancuran buku pada rezim fasis di Spanyol dan diakhiri dengan kisah pilu perpustakaan Irak ketika diinvasi Amerika Serikat tahun 2003.
Sebagai pecinta buku penulis tentu berharap kelak (perlahan tapi pasti), kita akan mudah mendapati pemandangan mahasiswa sibuk membaca buku dengan santai di taman-taman kampus, di kantin-kantin, atau di mana pun itu. Tanda kecintaan terhadap buku. Bukan sebaliknya. Saya tutup tulisan ini dengan mengutip sastrawan besar Jerman, Heinrich Heine: “Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.”