Oleh: Nur Kasanah, M.E.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Fundraiser merupakan kata lain dalam bahasa Inggris dari penghimpun, pengumpul, pencari dana/donatur. Kegiatan pengumpulan dananya disebut fundraising. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , pengumpulan adalah proses, cara pengumpulan, penghimpunan, pengerahan. Oleh karena itu fundraising dapat diartikan sebagai kegiatan menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari masyarakat baik individu, kelompok, organisasi, perusahaan dan pemerintah, yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional lembaga dengan tujuan akhir untuk mencapai visi dan misi lembaga tersebut. (Fanani, 2010) Jadi fundraiser itu penghimpun dana dari berbagai sumber untuk mencapai tujuan yang dicanangkan.
Meski terdengar sepele, tetapi ternyata tidak semua orang mau dan mampu menjadi fundraiser. Mengapa? Sebab tidak semua orang tahan dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa masih ada anggapan bahwa fundraiser tak ada bedanya seperti peminta-minta sumbangan, yang menengadahkan tangan meminta bantuan. Padahal itu berbeda. Memang, peminta sumbangan dan fundraiser sama-sama menghimpun uang dari donatur akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan itu secara mendasar. Pertama, fundraiser umumnya berada di bawah naungan lembaga amal resmi, baik milik pemerintah, perusahaan maupun lembaga filantropi berbasis masyarakat seperti BAZNAS, LAZISNU, LAZISMU, Rumah Zakat, Tabung Wakaf Indonesia dan lain-lain. Kedua, memiliki dan melakukan penguatan program lembaga secara kontinyu demi mewujudkan kemanfaatan masyarakat. Ketiga, memiliki kontrak kerja dan honor/gaji yang jelas sebagaimana profesi lainnya. Ketiga hal di atas tentu saja tidak dimiliki para pencari sumbangan yang umumnya hanya untuk tujuan individu atau kelompok kecil, bersifat insidental untuk kegiatan/ acara tertentu saja dan tidak ada kontrak apalagi gaji pasti.
Selain ketiga perbedaan mendasar di atas, ada setidaknya tiga syarat untuk menjadi menjadi fundraiser yang berkompeten menurut (Ghofur, 2018) adalah: 1) Mencintai kegiatan fundraising. Aktivitas apapun akan lebih mudah dijalankan jika disukai, disenangi dan dicintai. Seorang fundraiser haruslah belajar mencintai pekerjaannya. Mencintai di sini bukan tentang mencintai kegiatan fundraising tetapi tentang alasan mengapa fundraising ini harus dilakukan dan dicintai. Pemahaman akan makna aktivitas ini penting untuk diketahui secara mendalam. Untuk filantropi Islam, fundraiser haruslah memahami dasar pentingnya fundraising ini dari al-Qur’an dan hadis. 2) Memahami lembaga dan program. Rasa cinta pada aktivitas fundraising akan menumbuhkan percaya diri pada fundraiser, tapi ini saja tidaklah cukup. Fundraiser tidak akan berhasil menjalankan tugasnya jika tidak memahami lembag yang menaunginya. Oleh sebab itu, semua fundraiser haruslah diberikan orientasi terhadap lembaga dan program-program secara detail dan up to date. 3) Memiliki kepekaan terhadap keinginan donatur. Prinsip ketiga ini adalah kompetensi dan keahlian yang harus dimiliki fundraiser. Fundraiser harus mampu menyederhanakan maksud dan tujuan donatur dalam presentasi program, karena pada umumnya donatur belum memahami program yang dijalankan kecuali donatur yang sudah sering bekerja sama. Donatur pribadi juga harus diperhatikan sama dengan donatur perusahaan.
Fundraiser adalah perpanjangan tangan dan penghubung dari orang-orang baik yang ingin menyalurkan derma -umumnya berupa dana- kepada mereka yang membutuhkan. Anggapan bahwa donatur adalah orang-orang kaya yang sibuk tidak sepenuhnya salah meskipun setelah jadi fundraiser saya banyak menjumpai bahwa untuk menjadi donatur tidak harus menunggu kaya. Ada masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan tetapi berkomitmen untuk menyumbang secara kontinyu melalui uang receh. Mereka konsisten menyumbang karena memahami betul filosofi memberi, tahu program dan kemana uang akan disalurkan serta ada tim yang rutin mengambil donasi mereka.
Fundraiser juga bisa jadi lokomotif dan penyuara kebaikan. Sebab banyak juga orang yang ingin berdonasi tetapi bingung untuk siapa, kemana, apa yang mereka butuhkan. Dalam hal inilah peran penting fundraiser yang mumpuni dibutuhkan. Mereka akan menyurvei situasi dan merancang program yang tepat. Semakin banyak orang yang bisa ditolong, semakin banyak program yang terealisasi dan donatur yang semakin loyal, maka akan semakin banyak daftar kebahagiaan yang bisa dibagikan oleh fundraiser.
Fundraiser juga menjadi perpanjangan tangan untuk menjadi pewujud kebahagiaan. Apa yang kita rasakan saat memberikan sebungkus nasi Padang atau selembar lima ribuan pada peminta-minta dan melihat mereka berterima kasih atau bahkan ada yang menangis karena bahagia menerima pemberian kita? Padahal itu hanya sesuatu yang sepele untuk kita, tapi ekspresi bahagia mereka luar biasa. Apa yang kita rasakan? Bukankah ada rasa yang tiba-tiba menjalari hati dan tak jarang mengalir air mata kita? Ya, ternyata kita ikut bahagia, jauh lebih bahagia dari pada sebelum kita memberi bahkan bisa jadi kita jauh lebih bahagia dari pada si penerima. Mengapa? Sebab seperti halnya tertawa, ternyata kebahagiaan itu menular!(Yeo, 2019) Peneliti dari Harvard Medical School and The University of California, San Diego melakukan studi pada 5000 orang selama dua tahun untuk mengetahui efek bahagia seseorang terhadap sekitarnya. Dan mereka menemukan fakta bahwa kebahagiaan bersifat kolektif dan menular di kalangan jaringan sosial bahkan dari orang yang tidak dikenal sama sekali. Efeknya akan terasa dari orang lain, lain dan lainnya lagi.(Detik.com, 2009)
Jadi, sudah saatnya fundraiser tidak hanya dipandang sebelah mata sebagai pencari donasi semata-mata. Akan tetapi peran dan manfaatnya tidak kalah dengan pekerjaan lainnya yang jika dilakukan secara profesional tidak hanya menjadi amal kebajikan tapi juga dapat memberikan kontribusi kebahagiaan dan pendapatan.