Search
Close this search box.

Ketika Ramadhan Menepi, Akankah Kita Tetap Berlayar Bersamanya?

Bagikan :

Ramadhan merupakan bulan penuh berkah dan ampunan, membawa sejuta ceria bagi setiap insan beriman. Namun, sebagaimana setiap awal akan berakhir, setiap pertemuan pasti diikuti perpisahan, Ramadhan pun beranjak pergi, meninggalkan hati yang telah terisi kebiasaan mulia nan khusyuk. Di penghujung bulan suci ini, muncul suatu pertanyaan yang menusuk hati, Ramadhan meninggalkan kita, tetapi akankah kita juga meninggalkan Ramadhan?

Menuju 30 hari, kita telah didisiplinkan oleh kebiasaan spiritual yang luar biasa. Kita terbiasa menahan lapar dan dahaga, mengendalikan hawa nafsu, memperbanyak shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan mempererat silaturahmi. Ramadhan menjadi ruang untuk memperkuat keimanan, menyiram kekeringan hati yang berbulan-bulan dipenuhi fokus duniawi. Namun, tantangan sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana kita memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan, melainkan bagaimana menjaga nilai-nilai yang telah ditanamkan Ramadhan untuk terus hidup setelah ia berlalu.

Banyak diantara kita yang setelah selesai takbir Idul Fitri berkumandang, kembali pada kebiasaan lama, menunda shalat, melonggarkan kendali emosi, atau sudah tak lagi menyentuh Al-Qur’an untuk dibaca. Seolah kebiasaan yang dibangun ketika Ramadhan hanya tamu sementara yang ditunggu datangnya, namun setelahnya dibiarkan pergi begitu saja tanpa ada usaha mempertahankan. Padahal, esensi dari Ramadhan adalah proses internalisasi nilai-nilai keimanan yang harusnya berlanjut sepanjang tahun. Ramadhan mengajarkan kesabaran, empati, disiplin diri, serta ketulusan dalam beribadah dan bermuamalah.

Dalam perspektif spiritual, Ramadhan seharusnya menjadi titik tolak perubahan karakter yang mendalam. Jika sepanjang Ramadhan kita mampu bangun malam untuk tahajud, menahan lisan dari perkataan sia-sia, serta menahan diri dari hal-hal yang merugikan orang lain, maka seharusnya kebiasaan-kebiasaan ini dapat menjadi warisan yang lestari hingga Ramadhan berikutnya. Menjaga kehidupan semangat Ramadhan sepanjang tahun berarti menjaga kesadaran ruhani, menjadikan diri tetap dekat dengan Allah dalam segala aktivitas, dan tidak terjebak dalam siklus ‘beribadah musiman’.

Ramadhan memang akan meninggalkan kita, tetapi ruh Ramadhan yang berupa kesalehan individu dan sosial tidak seharusnya kita tinggalkan. Justru kita perlu terus menghidupkannya dalam setiap langkah kehidupan sehari-hari agar Ramadhan bukanlah hanya kenangan tahunan, tetapi menjadi bagian dalam diri kita menuju pribadi yang lebih bertakwa, lebih manusiawi, dan lebih siap menghadapi tantangan hidup.

Maka, setelah Ramadhan pergi, pertanyaannya kembali mengetuk hati kita masing-masing: apakah kita akan terus menjaga semangat Ramadhan atau justru membiarkan ia ikut menghilang bersama hilalnya?

Berita Terkait